Sabtu, 20 Januari 2018

PERAN GAPOKTAN DI DALAM SALURAN PEMASARAN KAKAO

PERAN GAPOKTAN DI DALAM SALURAN PEMASARAN KAKAO
OLEH : MUHAMMAD DARWIS, SP
PENYULUH PERTANIAN KAB. GOWA
I.              PENDAHULUAN
Kakao adalah salah satu komoditas yang diandalkan oleh pemerintah dari sektor perkebunan. Indonesia merupakan negara penghasil kakao terbesar ke tiga dunia, dengan produksi mencapai 700 ribu ton per tahun, dimana hampir 90% dihasilkan dari perkebunan rakyat.   Salah satu propinsi penghasil kakao terbesar di Indonesia adalah Sulawesi Selatan. Daerah–daerah penghasil kakao utama di Sulawesi selatan adalah Pinrang, Luwu dan Bulukumba
Permasalahan utama yang dihadapi perkakaoan kita adalah rendahnya produktifitas tanaman yang hanya berada di bawah 900 kg/ha/thn dari rata-rata potensi yang mencapai 2.000 kg/ha/thn. Penyebabnya antara lain adalah benih yang digunakan bukan bahan tanaman unggul, tanaman telah tua, belum diterapkannya teknologi secara baik serta serangan hama penyakit. Hama-penyakit penting di negara kita antara lain penggerek buah kakao (PBK), busuk buah Phitphtora palmivora dan vascular streak dieback. PBK memberikan kontribusi sekitar 5 – 80 % terhadap kehilangan hasil.
Produk biji kakao Indonesia, khususnya yang dihasilkan oleh perkebunan rakyat masih bermutu rendah, yang ditandai oleh masih tingginya kandungan biji non fermentasi  dan kotoran, biji berjamur, biji hampa dan benda-benda lainnya. Akibat keadaan tersebut kita mengalami potongan harga, yang pada tahun 2007 mencapai US$ 250/ton  Di sisi lain, insentif pemasaran sekarang ini cukup menjanjikan. Pedagang kakao dan pengusaha pabrik pengolahan biji kakao sekarang sudah memberikan klasifikasi harga yang cukup menggiurkan bagi petani kakao. Biji kakao yang difermentasi dihargai dengan sangat baik, sedangkan biji kakao yang non fermentasi juga dibeli tetapi dengan harga lebih rendah.
Untuk memberikan motivasi kepada petani agar mau melakukan fermentasi biji kakao mereka maka pemerintah perlu melakukan fasilitasi dalam rangka peningkatan kualitas sumberdaya manusia mereka. Fasilitasi yang diperlukan untuk mengatasi permasalahan mutu dan produktifitas tanaman ini adalah meliputi pelatihan, penyuluhan, temu teknis dan pendampingan, pembinaan kelompok tani dan kemitraan, harmonisasi standar mutu, penyediaan bahan tanaman unggul, kerjasama regional dan internasional, penyediaan teknologi dan sarana produksi serta kemudahan sarana-prasarana. Pemberian pelatihan dan penyuluhan merupakan cara konvensional dalam meningkatkan kesadaran dan kemampuan petani serta seluruh pelaku bisnis kakao dalam meningkatkan mutu biji kakao yang dihasilkan. Satu hal yang menggembirakan adalah karena pasar sekarang sudah mengadakan klasifikasi harga, antara produk yang difermentasi dengan produk yang tidak difermentasi. Sehingga dengan demikian maka petrani sudah dapat melihat dan merasakan sendiri nilai tambah yang akan dinikmati jika mereka melakikan fermentasi.  Namun, selain itu pemerintah agaknya masih perlu juga memediasi antara kelompok-kelompoktani atau gapoktan dengan pihsk pengusaha (pabrik) pengolahan biji kakao. Ini pnerting mengingat SDM petani yang belum dapat mengakses pasar antar pulau. Khususnya kita di Sulawesi Selatan yang jauh dari pabrik. Umumnya pabrik pengolahan kakao berada di Pulau Jawa, sehingga diperlukan medisa untuk dapat menembusnya. Disinilah peran pemerintah yang sangat vital agar petani dapat menjangkau pasar tersebut.

II.            PASAR DAN PEMASARAN KAKAO
A.  Pasar dan Pemasaran
Dalam konteks pemasaran, pasar adalah orang atau sekelompok orang atau organisasi yang mempunyai kebutuhan serta keinginan yang dapat dipenuhi lewat transaksi jual-beli (Gitosudarmo, 1998 dalam Idris, 2010)
Idris (2010) mengemukakan, bahwa menurut pandangan ilmu ekonomi, pasar didefenisikan sebagai permintaan,  yaitu jumlah produksi yang dapat diserap  oleh konsumen dari produk yang ditawarkan pada tingkat harga tertentu. Dari sudut pandang bisnis, pasar tidak hanya merupakan interaksi antara penawaran dan permintaan saja tetapi merupakan orang-orang atau organisasi yang membutuhkan produk tersebut beserta bagaimana sifat-sifat mereka.
Jumlah bisnisman dalam hal ini lebih menitik beratkan pada potensi pasar ditentukan oleh struktur penduduk, kemampuan membeli dan pola konsumsi (Gitosudarmo, 1998)
Pemasaran adalah suatu proses sosial dan manajerial yang di dalamnya individu dan kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan dengan menciptakan, menawarkan dan mempertukarkan produk yang bernilai dengan pihak lain (Kotler, 1996 dalam Idris 2010)
Cahyono (1999) dalam Idris (2010) mengatakan riset pemasaran sangat penting dilakukan terhadap faktor-faktor penunjang dari pada saluran nilai perusahaan. Aktifitas penunjang yang selalu melekat dalam pemasaran perusahaan adalah aktifitas pembelian, teknologi, SDM dan sarana margin dalam melakukan riset terhadap aktifitas penunjang ini maka yang terpenting adalah mengenai pengukuran variable-variabel yang terlibat di dalamnya.
Sigit (1983) mengemukakan, pemasaran adalah menyerahkan barang-barang dan jasa ke tangan konsumen, untuk ini diperlukan kegiatan-kegiatan tertentu. Berbagai jenis kegiatan dan proses yang diperlukan disebut fungsi pemasaran.  Fungsi pemasaran digolongkan menjadi 3 (tiga), yaitu;
1.     Fungsi pertukaran yang terdiri dari pembeli dan penjual
2.     Fungsi penyediaan fisik, yang terdiri dari transportasi, penggudangan/penyimpanan, pengolahan, sortasi, standardisasi dan grading
3.     Fungsi fasilitas, yang terdiri dari pembelanjaan, menanggung risiko dan penerangan atau informasi pusat.
Saluran pemasaran mempunyai tugas menyalurkan barang dari produsen ke konsumen. Ia mengatasi tiga macam jenjang penting yaitu waktu, ruang dan kepemilikan (Idris, 2010)
Menurut  Sukartawi (1993), dalam pemasaran komoditi pertanian seringkali panjang, sehingga banyak juga pelaku lembaga pemasaran yang terlibat dalam saluran pemasaran tersebut. Akibatnya, terlalu besarnya keuntungan pemasaran (marketing margin) yang diambil oleh para pelaku pemasaran tersebut.
Setiap barang mempunyai saluran pemasaran yang berbeda. Makin banyak lembaga pemasaran yang terlibat makin panjang saluran pemasaran yang mengakibatkan makin tinggi margin pemasaran (Idris, 2010)
Analisa terhadap saluran pemasaran produk pertanian pada umumnya sudah banyak dilakukan. Hasil penelitian Ginting menyebutkan adanya dua bentuk saluran pemasaran yaitu saluran pemasaran jangka pendek dan jangka panjang,.harga yang diterima petani pada kedua saluran tersebut berbeda.
Efisiensi pemasaran sering digunakan untuk menilai prestasi kerja proses pemasaran. Suatu kegiatan pemasaran dilakukan bersifat efisien jika biaya pemasaran dapat ditekan sehingga keuntungan pemasaran lebih tinggi. Persentase perbedaan harga yang dibayarkan produsen dan konsumen tidak terlalu tinggi, adanya pembagian keuintungan yang adil dari setiap lembaga pemasaran, tersedianya fasilitas fisik pemasaran dan adanya kompetisi pasar yang sehat (Sukartawi, 1990).
Nilai margin pemasaran berbeda-beda antara komoditas yang satu dan yang lain, hal ini dikarenakan untuk tiap produksi mempunyai jasa pemasaran yang berbeda-beda seperti pengolahan, pengangkutan, distribusi komoditas tersebut dari produsen sampai ke konsumen akhir. Berubahnya jumlah barang di pasaran juga dapat menyebabkan berubahnya margin pemasaran (Idris, 2010)
Secara matematik, margin pemasaran dirumuskan; (Sukartawi, 1990), sbb
   M        =       HP     -      HB                  …………………………….. (1)
Dimana;                   M        =    Margin pemasaran
                   HP       =    Harga penjual        
                   HB       =    Harga pembelian      
Tingkat keuntungan yang dikenakan lembaga pemasaran akan memperbesar margin pemasaran. Semakin tinggi margin pemasaran akan semakin rendah bagian yang diterima petani produsen dari harga.
Untuk mengetahui besarnya bagian (share) keuntungan terhadap keseluruhan margin pemasaran dapat dirumuskan sebagai berikut;
             Ki
   Ski       =   -------------------      X      100 %          …………………………… (2)
            M     
Dimana;    Ski      =   Bagian (share) keuntungan lembaga pemasaran
                  Ki       =   Keuntungan lembaga pemasaran
                    M     =    Margin pemasaran    (Soekartawi, 1990 dalam Idris, 2010)   
  
B.  Prospek Pengembangann Kakao
Kakao merupakan salah satu komoditi ekspor non migas yang memiliki prospek cukup cerah sebab permintaan di dalam negeri juga semakin kuat dengan semakin berkembangnya sektor agroindustri. Namun sangat disayangkan bahwa kualitas biji kakao kita masaih rendah, terutama dari kakao rakyat. Padahal, luas kakao rakyat jauh lebih luas, yaitu sekitar 72,07 % dari total luas kakao kita yang mencapai 328,938 hektar. Sedangkan luas perkebunan kakao Negara hanya sekitar 16,7 % dan perkebunan swasta sekitar 11,23 % (Susanto, 1995)
Pasokan biji kakao dari Indonesia yang berkualitas ekspor itu jumlahnya masih sangat kecil dibanding potensi dan peluang di negeri lain. Persyaratan kualitas produk masih merupakan kendala utama masuknya komoditas pertanian Indonesia, khususnya untuk produk biji kakao. Harga yang cukup bersaing kualitas produk yang dipengaruhi dari pola dan system tanam, serta penangnanan pasca panen sampai packing masih merupakan kendala klasik dan utama bagi masuknya produk pertanian Indonesia ke Singapura, Amerika Serikat, Belanda, Jerman dan lain-lain Peluang pasar bagi produk pertanian Indonesia, khususnya kakao, ke Singapura, USA, Belanda, Jerman dan lainnya, sepertinya sudah di pelupuk mata. Apakah petani dan pengusaha kita akan mengambilnya, agar kesejahteraan petani meningkat dan devisa Negara bertambah, atau peluang tersebut dibiarkan saja dan direbut Negara tetangga. Inilah tantangan yang perlu dijawab oleh para pengambil kebijakan di Negara ini.
III.       SALURAN PEMASARAN KAKAO SAAT INI
Dalam penelitian yang dilakukan Idris (2010) di Kelurahan Lebang Kecamatan Wara Barat Kota Palopo, diketahui bahwa ada tiga model saluran pemasaran yang ditempuh petani saat ini. Kemungkinan besar ketiga model tersebut juga terjadi di daerah-daerah penghasil kakao lainnya, termasuk di Kabupaten Gowa ini.
Ketiga model saluran pemasaran tersebut adalah sebagai berikut;
1)     Petani menjual kepada pedagang pengumpul kecil, pedagang pengumpul kecil menjual kepada pedagang pengumpul menengah, selanjutnya pedagang pengumpul menengah menjual kepada pedagang pengumpul besar (eksportir),
2)     Petani menjual kepada pedagang pengecer, selanjutnya pedagang pengecer menjual kepada pedagang pengumpul besar (eksportir), dan
3)    Petani menjual langsung kepada pedagang pengumpul besar (eksportir).
Model ketiga ini sangat jarang dilakukan petani karena terbatasnya pemilikan lahan serta sarana transportasi yang dimiliki oleh petani.
Dari ketiga model pemasaran yang terjadi sebagaimana digambarkan di atas setelah dilakukan analisis ekonomi dapat diketahui margin pemasaran, keuntungan dan tingkat efisiensi masing-masing sebagai berikut;
A.   Margin Pemasaran, masing-masing lembaga
Secara sederhana, margin pemasaran didefenisikan sebagai selisih antara harga jual dengan harga beli, atau dengan kata lain keuntungan kotor dari suatu proses perdagangan. Dikatakan demikian karena margin pasar adalah sisa dari penerimaan setelah dikurangi dengan modal awal sebelum dikurangi dengan biaya-biaya pemasaran. Menghitung margin pemasaran adalah sebagai berikut;
Dengan menggunakan rumus;
                    M     =    HP    -   HB
Dimana:       M        =       Margin Pemasaran
                    HP       =       Harga Penjualan
                    HB       =       Harga Pembelian   
Maka margin pemasaran masing-masing lembaga, adalah;
1.     Pedagang Pengecer                =   Rp. 3.300   -   Rp. 3.000      =    Rp.   300/Kg
2.     Pedagang Pengumpul Kecil   =   Rp. 3.100   -   Rp.  3.000     =    Rp.   100/Kg
3.     Pedagang Pengumpul Sedang  =   Rp  3.200   -   Rp   3.100   =    Rp.   100/Kg
4.     Pedagang Pengumpul Besar   =    Rp  3.600   -   Rp   3.200    =    Rp.    400/Kg
B.   Keuntungan, masing-masing lembaga
Keuntungan ialah hasil usaha perdagangan yang diperoleh dari selisih antara jumlah penerimaan dengan jumlah pengeluaran. Artinya, jika seluruh hasil penjualan sudah dikurangi dengan seluruh pengeluaran, maka sisanya itulah keuntungan.
Jika dihubungkan dengan margin pemasaran, maka keuntungan tidak lain adalah margin pemasaran dikurangi dengan biaya-biaya pemasaran. Jadi keuntungan ini merupakan penerimaan bersih atau laba bersih yang akan dinikmati oleh pedagang.
Olehnya itu, keuntungan dapat dicari dengan menggunakan rumus;
                     Π        =      M       -      BP
Dimana:       Π      =     Keuntungan Pemasaran
                     M     =     Margin Pemasaran
                    BP     =     Biaya Pemasarans
Maka keuntungan masing-masing lembaga, adalah:
1.  Pedagang Pengecer                  =   Rp.   300   -   Rp.   50     =      Rp.   250/Kg
2.  Pedagang Pengumpul Kecil     =   Rp.   100   -   Rp.   20     =      Rp.     80/Kg
3.  Pedagang Pengumpul Sedang  =   Rp.   100   -   Rp.   50     =      Rp.    50/Kg
4.  Pedagang Pengumpul Besar    =   Rp.   400   -   Rp.  265,22  =   Rp.  134,78/Kg
Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa dari lembaga-lembaga pemasaran kakao yang terlibat dalam saluran pemasaran, pedagang pengumpul besar merupakan penerima margin dan keuntungan terbesar, sedangkan pedagang pengumpul sedang  adalah penerima margin dan keuntungan terkecil.
Sedangkan kalau keseluruhan margin diakumulasikan, mencapai Rp. 600 - Rp. 700 per Kg. dan keuntungan mencapai Rp. 265 – Rp. 385 per Kg. Suatu angka yang cukup signifikan dalam meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani kakao kita. Olehnya itu, perlu diupayakan model saluran pemasaran alternatif yang memungkinkan hal tersebut.
IV.    PERAN GAPOKTAN DALAM SALURAN PEMASARAN KAKAO
Berdasarkan pengalaman yang telah dialami oleh petani serta melihat keadaan petani, kelompok tani, potensi sumberdaya pertanian dan sarana transportasi yang ada, maka ditawarkan kepada petani agar tidak menjual produknya kepada pedagang pengumpul, baik pengumpul kecil (tengkulak) maupun pengumpul menengah dan besar, tetapi membentuk lembaga sendiri yang beranggotakan para pengurus kelompok tani sendiri, untuk kemudian membeli produk kakao para anggota. Kalau sesuai keadaan sekarang mungkin semacam GAPOKTAN (gabungan kelompok tani), atau semacam KUD (koperasi unit desa) atau koperasi tani (KOPTAN). Dengan demikian, margin pemasaran yang ada akan diterima oleh lembaga petani tersebut, yang pada gilirannya akan dinikmati oleh seluruh anggota petani sendiri. Berdasarkan penelitian Idris (2010) di Kelurahan Lebang Kecamatan Wara Barat Kota Palopo, diketahui bahwa keuntungan yang diterima oleh petani adalah Rp 3.000 – Rp 3.200 per Kg.  sedangkan keuntungan yang diterima oleh setiap lembaga pemasaran yang terlibat adalah sebagai berikut;
1)            Pedagang pengecer                                  Rp. 250/Kg
2)            Pedagang pengumpul kecil                      Rp.   80/Kg
3)            Pedagang pengumpul menengah             Rp.    50/Kg
4)            Pedagang pengumpul besar                     Rp    134,78/Kg
Melihat fakta di atas, dapat dibayangkan betapa signifikannya hasil yang dapat dinikmati oleh para petani sendiri. Jika demikian halnya, mengapa tidak segera dimulai pembentukan lembaga pemasaran kakao di desa, yang akan membeli kakao para anggota kemudian menjualnya kepada eksportir.     

V.     KESIMPULAN
Berdasarkan pemaparan di muka maka dapatlah ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1.    Kakao adalah salah satu komoditas pertanian dari subsektor perkebunan yang kini sedang menjadi andalan Sulawesi Selatan sebagai komoditas ekspor.
2.    Harga biji kakao yang difermentasi lebih tinggi dibandingkan biji kakao yang tidak difermentasi.
3.    Produk biji kakao petani untuk sampai kepada pengusaha/pabrik pengolahan kakao melalui beberapa saluran. Diharapkan di masa yang akan datang gapoktan dapat berperan sebagai mata rantai pemasaran biji kakao petani yang akan menghubungkan petani dengan pengusaha secara langsung.



VI.    SARAN-SARAN
Berdasarkan kesimpulan sebagimana diungkapkan pada bab sebelumnya, maka dapat dikemukakan saran-saran sebagai berikut :
1.    Kiranya pemerintah dapat memfasilitasi petani untuk mendapatkan pelatihan fermentasi biji kakao.
2.    Kiranya pemerintah mensosialisasikan gerakan fermentasi biji kakao
3.    Kiranya pemerintah dapat memediasi gapoktan untuk bermitra dengan pengusaha (pabrik) pengolahan biji kakao.
4.    Kiranya pemerintah memberikan insentif harga yang lebih menarik kepada petani terhadap harga biji kakao yang difermentasi.

DAFTAR PUSTAKA
Anwar. I.M, 1994. Dasar-dasar Marketing. Alumni Bandung. Bandung

Cahyono. BT, 1999. Riset Pemasaran dan Kumpulan Tulisan Ilmiah. IPWI. Jakarta

Gitosudarmo. I, 1998. Prinsip Manajemen Pemasaran. Liberari. Yogyakarta.

Ibrahim Jabal tarik, dkk, 2003. Komunikasi dan Penyuluhan Pertanian. Banyumedia  Publishing/UMN Press. Malang

Idris, 2010. Analisis Saluran Pemasaran Kakao Dalam Upaya Meningkatkan Pendapatan Petani. STPP. Gowa

Kotler. P, 2005. Manajemen PemasarN. Analisia Perencanaan, Implementasi dan
             Pengendalian, Edisi Ke Enam. Erlangga. Jakarta.

Kustiah, Quilkey dan Makaliwe, 1986. Ekonomi Pemasaran Dalam Pertanian, Jilid I. Gramedia, Jakarta.

Roesmanto. J, 1991. Kajian Sosial Ekonomiu Kakao. UGM. Yogyakarta.

Sigit. S, 1983. Marketing Praktis. Gajah Mada Universitas Press. Yogyakarta

Soekartawi, 1991. Agribisnis : Teori dan Aplikasinya. Rajawali, Jakarta.

Soekartawi, 1993. Manajemen Pemasaran Hasil-hasil Pertanian. Rajawali Press. Jakarta








PEMBERIAN KONSENTRAT SEBAGAI PAKAN TAMBAHAN PADA SAPI PERAH

PEMBERIAN KONSENTRAT SEBAGAI PAKAN TAMBAHAN PADA SAPI PERAH

OLEH : MUHAMMAD DARWIS, SP
PENYULUH PERTANIAN KAB. GOWA
I.      PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
Susu merupakan salah satu sumber protein hewani yang sangat besar manfaatnya dalam meningkatkan kecerdasan serta pertumbuhan  fisik anak selama masa pertumbuhan, di samping itu  sangat baik dalam menjaga stamina dan kekuatan bagi individu dewasa dan lanjut usia. Air susu merupakan minuman sehat yang mengandung protein sangat tinggi sehingga menunjang pertumbuhan keerdasan dan daya tahan tubuh.
Kebutuhan akan susu dalam negeri hingga saat ini sebagian besar masih  dipenuhi dengan susu impor. Produksi susu dalam negeri hanya mampu mrmasok sekitar 30 % dari kebutuhan dalam negeri, dan sisanya dipenuhi melalui impor dalam bentuk susu bubuk. Untuk menghadapi masalah  ini diperlukan upaya melalui produksi dalam negeri, antara  lain dengan meningkatkan populasi dan produktifitas sapi perah (Anonim, 2009).
Pengembangan usaha peternakan sapi perah di Sukawesi Selatan sangat berpeluang, melihat pangsa pasar yang masih sangat besar dan terbuka serta peranannya yang sangat vital dalam meningkatkan kualitas sumberdaya manusia. Kandungan gizi yang lengkap dalam susu dan mudahnya dicerna oleh tubuh  kita menyebabkan susu menjadi bahan pangan yang sangat penting sebagai sumber gizi dalam rangka menunjang kesejahteraan keluarga dan kualitas manusia Indonesia. Selain itu, kondisi agroklimat wilayahSulawesi Selatan yang sangat sesuai dengan kebutuhan phisiologis sapi perah, ketersediaan lahan peternakan dan pakan serta pasar yang mendukung, menjadi factor pendorong usaha pengembangan sapi perah di wiayah ini.
Populasi sapi perah menurut data Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Enrekang sampai pada 1 Mei 2010 mencapai 1.527 ekor dengan jumlah peternak 227 orang dan masih berpotensi untuk dikembangkan melihat potensi sumberdaya alam yang sangat mendukung serta animo masyarakat untuk memelihara ternak perah yang cukup tinggi.
Pada pemberian pakan, umumnya peternak memnberikan hijauan berupa rumput gajah serta dedak sebagai pakan tambahan, untuk menjaga stabilitas produksi susu dan kesehatan ternak. Pemberian pakan tambahan dalam bentuk konsentrat jadi nelum dilakukan secara optimal sehingga produksi air susu belu sesuai yang diharapkan.
Konsentrat jadi merupakan bahan pakan tambahan bagi ternak yang terbuat dari campuran dedak jagung, dedal padi, tepung tulang, tepung ikan, tepung kacang hijau, bungkil kelapa dan bahan lain yang bermanfaat bagi tubuh dan kesehatan  ternak. Konsentrat jadi diberikan pada hamper semua jenis ternak, baik ayam ras, ayam Bangkok, itik, dan sapi atau kerbau. Bahan-bahan pembuatan konsentrat yang bersumber dari berbagai macam tanaman dan hewan menyebabkan kandungan gizi dalam konsentrat yang tinggi dan sangat berguna bagi tubuh ternak. Pada peternakan ayam petelur dan ayam pedaging, konsentrat menjadi pakan pokok yang sangat dibutuhkan sehinggga menyerap sebagian besar biaya produksi.
Untuk memperkenalkan pengaruh konsentrat sebagai pakan tambahan terhadap pertumbuhan dan produksi susu maka dilakukan penulisan karya tulis ini.
B.  Rumusan Masalah
Adapun masalah yang dirumuskan adalah bagaimana pengaruh konsentrat sebagai pakan tambahan terhadap pertumbuhan dan produksi susu.
C.  Tujuan
Memperkenalkan pengaruh dari konsentrat sebagai pakan tambahan terhadap pertumbuhan dan produksi susu.
II.    TINJAUAN PUSTAKA
A.   Phisiologi Sapi Perah
Perkembangan usaha peternakan sapi perah di Indonesia, terus menibgkat dari tahun ke tahun akibat peningkatan permintaan bahan pangan asal ternak, sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk, tingkat kesejahteraan rata-rata masyrakat serta kesadaran akan pentingnya susu sebagai salah satu sumber protein hewani. Sementara itu, produksi susu sapi dalam negeri masih sangat rendah dibandingakn dengan kebutuhan kita. Usaha lain yang ditempuh untuk memenuhi kebutuhan susu ini adalah dengan memanfaatkan susuyang terbuat dari kedelai. Namun demikian pasokan susu jenis ini belum mencukupi kebutuhan nasional, sehingga kita masih tetap saja kekurangan.
Menurut Hartutik ( 2008), bahwa pada Tahun 2005 Indonesia memiliki populasi sapi perah sebanyak 373.970 ekor dengan pasokan susu segar sebanyak 341.986 ton per tahun. Sedangkan kebutuhan susu dalam negeri  sebesar 1.427.000 ton. Dengan demikian maka Indonesia masih harus mengimpor susu sebesar 1.085.014 ton. Peluang inilah yang harus diperhitungkan oleh pemerintah dalam memprogramkan pengembangan peternakan sapi perah dalam negeri guna menuju swasembada susu pada Tahun 2015 yang dicanangkan pemerintah.
Secara fisiologis, sapi perah memiliki sifat yang sama dengan sapi potong. Sifat yang dimaksud adalah lama kebuntingan, siklus birahi, prinsip-prinsip reproduksi, fungsi bagian saluran cerna serta kebutuhan dan pemanfaatan nutrient. Pola pemeliharaannya juga sangat bervareasi, mulai dari peternakan yang memelihara beberapa ekor, sampai peternakan yang memelifara ratusan induk (Daisy, 2003)
B.   Faktor-faktor yang Mempengruhi Produksi Air Susu
Faktor-faktor yang mempengaruhi air susu sapi perah, baik volume airnya maupun komposisi kandungannya, secara garis besar ada 3 (tiga), yaitu : factor lingkungan, genetic dan manajemen (Saleh, 2004). Faktor lingkungan ditentukan oleh unsure-unsur lingkungan seperti : suhu lingkungan, kelembaban, fegetasi, ketersediaan pakan dan kebersihan. Factor gentik antara lain seperti jenis atau ras, keturunan (fereditas), tingkat laktasi, umur ternak, infeksi atau peradangan pada ambing, dan lain-lain. Factor manajemen seperti penyediaan pakan, prosedur pemerahan dan sebagainya.
Produksi air susu seekor sapi perah dapat dianggap mencapai kedewasaan  produksi pada umur kira-kira 5 tahun. Periode umur 5 – 10 tahun, volume produksi air susu   dalam suatu masa laktasi tidak banyak mengalami perbedaan yang mencolok. Pada periode tersebut produksi tertinggi dicapai pada saat sapi telah mencapai umur 6 – 8 tahun. Setelah mencapai umur 10 tahun produksi air susu mulai berkurang, bahkan kadang-kadang diikuti dengan adanya kesulitan di dalam melahirkan. Untuk itu, apabila sapi telah mencapai umur 10 tahun perlu dipersiapkan generasi pengganti sebagai usaha untuk peremajaan (Anonim, 1995)
Untuk lebh jelasnya, ketiga factor yang mempengaruhi produksi air susu sapi perah dan kandungannya, diuraikan lebih lanjut sebagai berikut;
1.    Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan memberikan pengaruh cukup besar terhadap tingkat produksi air susu sapi perah. Di antara sekian banyak komponen lingkungan, yang paling yata pengaruhnya adalah suhu dan berkaitan erat dengan kelembaban (Daisy, 2003).
Pengaruh lingkungan terhadap produksi dan komposisi air susu dapat dikomplikasikan dengan factor-faktor lain seperti nutrisi dan tahap laktasi. Bila factor-faktor seperti itu dihillangkan maka memungkinkan untuk mengamati pengaruh musim dan susu. Biasanya pada musim hujan kandungan lemak susu akan meningkat sedangkan pada musim kemarau kandungan lemak susu lebih rendah. Produksi air susu yang dihasilkan pada kedua musim tersebut juga berbeda. Pada musim hujan produksi air susu dapat meningkat karena tersedianya pakan yang lebih banyak dari musim kemarau. Suhu dan kelembaban dapat mempengaruhi timbulnya infeksi bakteri dan jamur penyebab mastitis.
Penyediaan bahan makanan yang tidak mencukupi akan membatasi sekresi air susu, sebab mengingat sifat dari ternak sapi perah yang mampu mengorbankan berat badannya untuk keperluan berproduksi. Berat badan yang hilang ini tentu saja akan mengalami penggantian dari zat-zat makanan dalam ransum. Jadi sapi perah yang mendapatkan makanan yang sangat terbatas akan mencukupi kebutuhan hidup pokoknya dengan mengorbankan zat makanan yang diperlukan dalam laktasi (Anonim, 1995).
Jenis pakan dapat mempengaruhi komposisi air susu. Pakan yang terlalu banyak konsentrat akan menyebabkan kadar lemak susu rendah. Jenis pakan dari rumput-rumputan akan menaikkan kandungan asam asetat, sedangkan pakan berupa jagung atau gandum akan menaikkan asam butiratnya. Pemberian pakan  yang banyak pada seekor sapi yang kondisinya kering kandang dapat menaikkan hasil produksi air susu sebesar 10 – 30 %. Pemberian air minum adalah penting untuk produksi air susu, karena air susu terdiri dari dari 87 % air dan 50 % dari tubuh sapi teriri dari air.
Jumlah air yang dibutuhkan tergantung dari produksi air susu yang dihasilkan oleh seekor sapi, suhu sekeliling dan pakan yang diberikan. Perbandingan antara air susu yang dihasilkan dan air yang dibutuhkan adalah 1 : 36.  Air yang dibutuhkan untuk tiap hari bagi seekor sapi berkisar 37 – 45 liter (Saleh, 2004).
Adapun kebutuhan zat-zat makanan untuk tiap liter produksi susu yang harus terpenuhi dapat dilihat pada table di bawah ini ;
Lemak (kg)
Prdd (gr)
MP (gr)
Ca (gr)
P (gr)
3,0
3,5
4,0
4,5
5,0
5,5
6,0
0,043
0,046
0,049
0,052
0,056
0,059
0,062
0,3
0,3
0,3
0,4
0,4
0,4
0,4
2,0
2,0
2,0
2,0
2,0
2,0
2,0
1,5
1,5
1,5
1,5
1,5
1,5
1,5
Sumber : Anonim, 1995
Keterangan : Prdd   :  Protein dapat dicerna
  MP     :   martabat pati
  Ca      :   Calsium
  P        :    Posfor
Pada suhu lingkungan yang tinggi terlihat jelas dapat menurunkan produksi air susu dimana ternak sapi menurunkan konsumsi pakan, tetapi belum jelas apakah suhu dapat mempengaruhi produksi air susu (Saleh, 2004).. Di Indonesia temperature lingkungan yang mencapai 29 oC menurunkan produksi menjadi 10,1 kg/ekor/hari dari produksi sebesar 11,2 kg/ekor/hari jika temperature lingkungan hanya berkisar 18 – 20 oC. 
Makanan utama sapi perah adalah rumput atau hijauan, tetapi pemberian hijauan saja tidak cukup untuk produksi secara maksimal. Rumput di daerah tropis kurang dapat dicerna sehingga konsumsi zat makanan yang dapat dicerna oleh sapi perah menjadi rendah. Untuk mengatasi kekurangan tersebut maka diperlukan tambahan konsentrat. Kombinasi antara hijauan, terutama rumput gajah dan konsentrat dapat meningkatkan produksi air tetapi selalu menurunkan kadar lemak susu (Suherman, 2003) 
2.    Faktor Genetik
Genetik merupakan faktor individu yng diturunkan oleh orangtua kepada anaknya. Faktor ini bersifat baka, tak berubah dan sangat menentukan produksi dan kandungan air susu sapi perah selama masa laktasi. Oleh sebab itu kesanggupan untuk menghasilkan air susu sangat tergantung pada keadaan genetik ternak yang bersangkutan.
Pada umumnya, sapi perah yang berumur 5 – 6 tahun sudah mempunyai produksi air susu yang tinggi tetapi hasil maksimum akan dicapai pada umur 8 – 10 tahun. Umur ternak erat kaitannya dengan periode laktasi, makin tua umur sapi maka semakin tinggi pula produksi air susunya, demikian pula sebaliknya. Hal ini disebabkan karena keadaan fisik sapi yang berubah seiring pertambahan umurnya.
 Pada periode permulaan produksi air susu tinggi tetapi pada masa akhir laktasi produksi air susu menurun. Selama periode laktasi kanungan protein susu secara umum mengalami kenaikan, sedangkan kandungan lemaknya mula-mula menurun sampai bulan ketiga laktasi, kemudian naik lagi. Komposisi air susu berubah pada tiap tingkat laktasi dimana perubahan yang terbesar terjadi pada saat permulaan dan terakhir periode laktasi (Saleh, 2004)
3.    Faktor Manajemen
Manajemen yang baik dan sempurna merupakan kunci sukses bagi usaha peternakan sapi perah. Dalam hal ini termasuk perlakuan yang diberikan seorang peternak terhadap rangsangan, masalah pemerahan, lamanya kering kandang, pencegahan terhadap penyakit, frekuensi pemerahan, jarak perkawinan (service periode) dan jarak melahirkan (calving internal).
Perlakuan yang kasar dalam proses pmerahan akan menimbulkan rasa sakit dan rasa takut yang dapat mengakibatkan sapi menjadi stress, sehingga menimbulkan hambatan dalam proses pemerahan. Peristiwa semacam ini juga akan mengakibatkan sekresi     pembentukan air susu berikutnya terlambat, bahkan dapat kemerosotan produksi secara permanen bagi seluruh masa laktasi (Anonim, 1995)
Infeksi penyakit tertentu dapat mempengaruhi produksi air susu. Penyakit yang terinfeksi akan mempengaruhi denyut jantung sehingga peredran darah yang menuju  ke kelenjar susu terpengaruh pula (Anonim, 1995)
Panjang pendeknya masa kering kandang akan sangat mempengaruhi produksi dalam satu masa laktasi. Kering kandang atau masa istrahat  yang terlalu singkat akan menyebabkan produksi air susu pada masa laktasi berikutnya menjadi rendah. Masa istrahat yang normal  berlangsung 1,5 – 2 bulan (Anonim, 1995). Produksi air susu pada laktasi kedua dan berikutnya dipengaruhi oleh  lamanya masa kering kandang sebelumnya. Setiap individu sapi betina produksi air susu akan naik dengan bertambahnya masa kering kandang sampai 7 – 8 minggu. Meskipun demikian, menurut Sudono, dkk (2003),  masa kering kandang yang lebih lama lagi maka produksi akan bertambah lagi.
Jadwal pemerahan yang teratur dan seimbang akan memberikan produksi air susu yang lebih baik dari pada jadwal pemerahan yang tidak teratur dan seimbang, misalnya jarak pemerahan yang terlalu panjang atau pendek. Jarak pemerahan antara 8 jam dan 16 jam, hasilnya lebih rendah dari pada sapi yang diperah dengan jarak pemerahan antara 10 jam dan 12 jam (Anonim, 1995)
Pemerahan yang dilakukan lebih dari 2 kali sehari, yaitu pagi dan sore hari, biasanya dilakukan terhadap sapi yang berproduksi tinggi. Sapi perah yang berproduksi lebih dari 20 liter per hari atau lebih dapat dilakukan 3 kali sehari, sedangkan yang berproduksi 25 liter per hari atau lebih dpat diperah 4 kali sehari. Peningkatan produksi air susu tersebut akibat pengaruh hormone prolaktin yang lebih banyak dihasilkan dibandingkan sapi umumnya (Sudono, dkk, 2003).
Pengaturan jarak perkawinan erat hubungannya dengan kelahiran seekor ternak dimana yang idealnya 13 bulan. Jarak antara dua kelahiran  yang terlampau panjang akan berakibat jelek dengan jarak kelahiran yang pendek. Panjang pendeknya waktu antara dua waktu kelahiran sangat bergantung pada cepat lambatnya sapi itu dikawinkan (Anoni, 1995).
Selang beranak yang optimal adalah 12 dan 13 bulan. Jika selang beranak diperpendek maka akan menurunkan produksi air susu sebanyak 3,7 % pada laktasi yang sedang berjalan yang akan datang. Jika selang beranak diperpanjang sampai 450 hari maka akan meningkatkan produksi air susu sebesar 3,5 % pada laktasi yang sedang berjalan atau yang akan datang (Sudono, dkk, 2003)
  
III.       KONSENTRAT
Konsentrat merupaakan makanan ternak penguat yang kaya karbohidrat dan protein seperti jagung, bekatul dan bungkil-bungkilan. Pakan konsentrat bisa dibeli dalam bentuk jadi  maupun dalam bentuk bahan makanan, misalnya dedak, bekatul jagung, tepung ikan, tepung darah. Konsentrat digunakan terutama pada saat pertumbuhan, pada masa kebuntingan maupun saat menyusui bagi induknya. Para peternak memberikan pakan hijauan bersama dengan konsentrat supaya semua zat-zat makanan yang diperlukan untuk pertumbuhan, produksi dan reproduksi dapat terpenuhi (Anonim, 2008).
Penambahan konsentrat pada sapi bertujuan untuk meningkatkan nilai pakan dan menambah energy. Tingginya pemberian pakan berenergi menyebabkan peningkatan konsumsi dan daya cerna dari rumput atau hijauan kualitas rendah. Penambahan konsentrat tertentu dapat menghasilkan asam amino esensial yang dibutuhkan oleh tubuh. Selain itu, dapat juga bertujuan agar zat makanan dapat langsung diserap di usus tanpa terfermentasi di rumen, mengingat fermentasi rumen membutuhkan energy lebih banyak.
 Induk ternak  perah yang laktasi memerlukan perhatian yang lebih terutama tata laksana pemberian pakannya. Untuk memproduksi susu yang tinggi induk ternak perah akan mengeluarkan cadangan energy di dalam tubuhnya sehingga menyebabkan berat badannya akan turun. Pemberian pakan konsentrat harus ditingkatkan dengan pola pemberian yang baik untuk mempertahankan produksi susu dan untuk mengurangi laju penurunan berat badannya. Pemberian 1 kg konsentrat dapat menghasilkan 4  liter susu (Haryati, 2003).
Berdasarkan kandungan gizinya, konsentrrat dibagi dua golongan, yaitu:
-          Konsentrat sebagai sumber nergi, dan
-          Konsentrat sebagai sumber protein
Konsentrat sebagai sumber protein, yakni apabila kandungan proteinnya lebih dari 18 %   Total Digestible Nutrision (TDN) 60 %.
Ada konsentrat yang berasal dari hewan dan ada pula dari tumbuhan. Konsentrat yang berasal dari hewan mengandung protein lebih dari 47 %, mineral Ca lebih dari 1% dan P lebih dari 1,5% serta kandungan serat kasar di bawah 2,5 %. Contohnya tepung ikan, tepung susu, tepung daging, tepung darah, tepung bulu dan tepung cacing. Konsentrat yang berasal dari tumbuhan  kandungan proteinnya di bawah 47%, mineral Ca di bawah 1 % dan P di bawah 1,5% serta serat kasar lebih dari 2,5%. Contohnya tepung kedelai, tepung biji kapuk, tepung bunga matahari, bungkil wijen, bungkil kedelai, bungkil kelapa, bungkil kelapa sawit.
Konsentrat sebagai sumber energy apabila kandungan protein di bawah 18 %, TDN 60 % dan serat kasarnya lebih dari 10 %. Contohnya dedak, jagung, empok, polar (Tandilinting, 2002)

IV.  PENGARUH KONSENTRAT
Berdasarkan pengkajian yang dilakukan di Desa Lebang Kecamatan Cendana Kabupaten Enrekang Provinsi Sulawesi Selatan terhadap 9 ekor sapi dengan parameter yang diamati adalah produksi susu setiap harinya dan efisiensi penggunaan pakan, diperoleh hasil bahwa pemberian konsentrat sebanyak 3 kg/ekor/hari menghasilkan produksi air susu optimal yaitu sebanyak 5 liter/ekor/hari. Hasil tersebut sejalan dengan pendapat Haryati (2003) yaitu 4 kg/ekor/hari.
Fakta lain yang diketahui yaitu bahwa pemberian pakan berupa konsentrat sebanyak 3 kg/ekor/hari dan hijauan sebanyak 30 kg/ekor/hari adalah merupakan susunan ransum yang terbaik karena memberikan efisiensi pakan yang terbaik namun dengan biaya yang paling rendah.
Pengaruh konsentrat terhadap produksi susu disebabkan oleh kandungan nutrisi yang terdapat di dalam konsentrat sangat menunjang tersusunnya formula air susu di dalam tubuh sapi, terutama protein dan lemak. Sehingga adanya asupan gizi dari konsentrat ke dalam tubuh sapi memicu terproduksinya air susu. Adapun mengenai jumlah konsentrat sebanyak 3 kg/ekor/hari dimungkinkan oleh daya serap tubuh sapi terhadap pakan tambahan serta kemampuan tubuh sapi untuk memproduksi air susu yang bersesuaian dengan dosis tersebut.
Fakta mengenai efisiensi penggunaan pakan terbaik yang dihasilkan oleh susunan ransum berupa konsentrat sebanyak 3 kg/ekor/hari dan hijauan sebanyak 30 kg/ekor/hari kemungkinan disebabkan karena perbandingan kandungan nutrisi yang dihasilkan dari susunan ransum tersebut merupakan perbandingan terbaik, terutama antara protein dan serat, dimana protein dihasilkan dari konsentrat sedangkan serat dihasilkan dari hijauan. Protein dibutuhkan untuk membentuk air susu, sedangkan serat dibutuhkan untuk menghasilkan kalori yang dibutuhkan sebagai sumber energy bagi tubuh sapi sekaligus untuk membentuk jaringan tubuh yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan tubuhnya.
V.       KESIMPULAN DAN SARAN
A.   Kesimpulan
Berdasarkan fakta ilmiah sebagaimana telah diuraikan di muka, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1.    Pemberian konsentrat sebagai pakan tambahan pada sapi perah dengan dosis adalah 3 kg/ekor/hari dapat meningkatkan produksi susu, dengan produksi susu sebanyak 5 kg/ekor/hari.
2.    Pemberian ransum berupa konsentrat sebanyak 3 kg/ekor/hari dan hijauan sebanyak 30 kg/ekor/hari merupakan susunan ransum yang terbaik karena menghasilkan efisiensi pakan yang terbaik dan biaya pakan yang paling rendah.
B.   Saran-saran
Berdasarkan kesimpulan di atas maka dapat diberikan saran-saran sebagai berikut
1.    Kiranya para peternak dapat memberikan konsentrat pada sapi perah mereka sebagai pakan tambahan
2.    Kiranya pemerintah dapat mensosialisasikan kepada seluruh masyarakat tentang inovasi ini demi untuk peningkatan produksi susu nasional dan peningkatan pendapatan peternak.
3.    Kiranya para Penyuluh Pertanian dapat memfasilitasi para peternak untuk menerapkan teknologi ini.

DAFTAR PUSTAKA
Adinda T, 2004. Manfaat Pemberian Feed Blok Suplement (FBS) yang Mengandung Minerasl Mikro, Penghambat Metan, Agen Defsaunasi dan Probiotik Lokal terhadap Peningkatan Kualitas Susu. Skripsi Departemen Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak. Fakultas Peternakan, IPB, Bogor.
Anonym, 1995. Petunjuk Praktis Beternak Sapi Perah. Kanisius, Yogyakarta.
……….., 2006. Undang-undang RI No, 16 Tahun 2006, tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan. Departemen Pertanian, Jakarta
Daisy R, 2003. Stress Panas pada Sapi Perah Laktasi. Makalah Falsafah Sains, Program Pasca Sarjana. IPB, Bogor.
Hartutik, 2008. Strategi Manajemen Pakan untuk Meningkatkan Produksi Sapi Perah. http//pakan-ternak brawijaya.ac.id.

Saleh E, 2004. Dasar Pengolahan Susu Dan Hasil Ikutan Ternak. Program Studi Produksi Ternak, Fakultas Peternakan Universitas Sumatera Utara, Medan
Sudono, Fina dan SB Susilo, 2003. Beternak Sapi Perah Secara Intensif. Agro Media Pustaka, Jakarta.
Suherman D, 2003. Kombinasi Rumput Gajah dan Konsentrat dalam Ransum terhadap Kualitas Produksi SusuSapi Perah Holstein. Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu, Bengkulu.
Sutandi, 1980. Pengembangan Ternak Perah Ditinjau dari Segi Manajemen dan Pemberian Makanannya. Departemen Ilmu Makanan Ternak, IPB, Bogor.
Tangdilinting, 2002. Teknologi Pakan Ternak Perah. Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar.
Widodo dan Melleng A. Samad, 2008. Budidaya Usaha Ternak Sapi Perah. Tatalima Corporation, Malang..