PERAN GAPOKTAN
DI DALAM SALURAN PEMASARAN KAKAO
OLEH : MUHAMMAD
DARWIS, SP
PENYULUH
PERTANIAN KAB. GOWA
I.
PENDAHULUAN
Kakao
adalah salah satu komoditas yang diandalkan oleh pemerintah dari sektor
perkebunan. Indonesia merupakan negara penghasil kakao terbesar ke tiga dunia,
dengan produksi mencapai 700 ribu ton per tahun, dimana hampir 90% dihasilkan
dari perkebunan rakyat. Salah satu
propinsi penghasil kakao terbesar di Indonesia adalah Sulawesi Selatan.
Daerah–daerah penghasil kakao utama di Sulawesi selatan adalah Pinrang, Luwu
dan Bulukumba
Permasalahan
utama yang dihadapi perkakaoan kita adalah rendahnya produktifitas tanaman yang
hanya berada di bawah 900 kg/ha/thn dari rata-rata potensi yang mencapai 2.000
kg/ha/thn. Penyebabnya antara lain adalah benih yang digunakan bukan bahan
tanaman unggul, tanaman telah tua, belum diterapkannya teknologi secara baik
serta serangan hama penyakit. Hama-penyakit penting di negara kita antara lain
penggerek buah kakao (PBK), busuk buah Phitphtora palmivora dan vascular streak
dieback. PBK memberikan kontribusi sekitar 5 – 80 % terhadap kehilangan hasil.
Produk
biji kakao Indonesia, khususnya yang dihasilkan oleh perkebunan rakyat masih
bermutu rendah, yang ditandai oleh masih tingginya kandungan biji non
fermentasi dan kotoran, biji berjamur,
biji hampa dan benda-benda lainnya. Akibat keadaan tersebut kita mengalami
potongan harga, yang pada tahun 2007 mencapai US$ 250/ton Di sisi lain, insentif pemasaran sekarang ini
cukup menjanjikan. Pedagang kakao dan pengusaha pabrik pengolahan biji kakao
sekarang sudah memberikan klasifikasi harga yang cukup menggiurkan bagi petani
kakao. Biji kakao yang difermentasi dihargai dengan sangat baik, sedangkan biji
kakao yang non fermentasi juga dibeli tetapi dengan harga lebih rendah.
Untuk
memberikan motivasi kepada petani agar mau melakukan fermentasi biji kakao
mereka maka pemerintah perlu melakukan fasilitasi dalam rangka peningkatan
kualitas sumberdaya manusia mereka. Fasilitasi yang diperlukan untuk mengatasi
permasalahan mutu dan produktifitas tanaman ini adalah meliputi pelatihan,
penyuluhan, temu teknis dan pendampingan, pembinaan kelompok tani dan
kemitraan, harmonisasi standar mutu, penyediaan bahan tanaman unggul, kerjasama
regional dan internasional, penyediaan teknologi dan sarana produksi serta
kemudahan sarana-prasarana. Pemberian pelatihan dan penyuluhan merupakan cara
konvensional dalam meningkatkan kesadaran dan kemampuan petani serta seluruh
pelaku bisnis kakao dalam meningkatkan mutu biji kakao yang dihasilkan. Satu
hal yang menggembirakan adalah karena pasar sekarang sudah mengadakan
klasifikasi harga, antara produk yang difermentasi dengan produk yang tidak
difermentasi. Sehingga dengan demikian maka petrani sudah dapat melihat dan
merasakan sendiri nilai tambah yang akan dinikmati jika mereka melakikan
fermentasi. Namun, selain itu pemerintah
agaknya masih perlu juga memediasi antara kelompok-kelompoktani atau gapoktan
dengan pihsk pengusaha (pabrik) pengolahan biji kakao. Ini pnerting mengingat
SDM petani yang belum dapat mengakses pasar antar pulau. Khususnya kita di
Sulawesi Selatan yang jauh dari pabrik. Umumnya pabrik pengolahan kakao berada
di Pulau Jawa, sehingga diperlukan medisa untuk dapat menembusnya. Disinilah
peran pemerintah yang sangat vital agar petani dapat menjangkau pasar tersebut.
II.
PASAR DAN
PEMASARAN KAKAO
A. Pasar dan Pemasaran
Dalam
konteks pemasaran, pasar adalah orang atau sekelompok orang atau organisasi
yang mempunyai kebutuhan serta keinginan yang dapat dipenuhi lewat transaksi
jual-beli (Gitosudarmo, 1998 dalam
Idris, 2010)
Idris
(2010) mengemukakan, bahwa menurut pandangan ilmu ekonomi, pasar didefenisikan
sebagai permintaan, yaitu jumlah
produksi yang dapat diserap oleh
konsumen dari produk yang ditawarkan pada tingkat harga tertentu. Dari sudut
pandang bisnis, pasar tidak hanya merupakan interaksi antara penawaran dan
permintaan saja tetapi merupakan orang-orang atau organisasi yang membutuhkan
produk tersebut beserta bagaimana sifat-sifat mereka.
Jumlah
bisnisman dalam hal ini lebih menitik beratkan pada potensi pasar ditentukan
oleh struktur penduduk, kemampuan membeli dan pola konsumsi (Gitosudarmo, 1998)
Pemasaran
adalah suatu proses sosial dan manajerial yang di dalamnya individu dan
kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan dengan menciptakan,
menawarkan dan mempertukarkan produk yang bernilai dengan pihak lain (Kotler,
1996 dalam Idris 2010)
Cahyono
(1999) dalam Idris (2010) mengatakan
riset pemasaran sangat penting dilakukan terhadap faktor-faktor penunjang dari
pada saluran nilai perusahaan. Aktifitas penunjang yang selalu melekat dalam
pemasaran perusahaan adalah aktifitas pembelian, teknologi, SDM dan sarana
margin dalam melakukan riset terhadap aktifitas penunjang ini maka yang
terpenting adalah mengenai pengukuran variable-variabel yang terlibat di
dalamnya.
Sigit
(1983) mengemukakan, pemasaran adalah menyerahkan barang-barang dan jasa ke
tangan konsumen, untuk ini diperlukan kegiatan-kegiatan tertentu. Berbagai
jenis kegiatan dan proses yang diperlukan disebut fungsi pemasaran. Fungsi pemasaran digolongkan menjadi 3
(tiga), yaitu;
1. Fungsi
pertukaran yang terdiri dari pembeli dan penjual
2. Fungsi
penyediaan fisik, yang terdiri dari transportasi, penggudangan/penyimpanan,
pengolahan, sortasi, standardisasi dan grading
3. Fungsi
fasilitas, yang terdiri dari pembelanjaan, menanggung risiko dan penerangan
atau informasi pusat.
Saluran
pemasaran mempunyai tugas menyalurkan barang dari produsen ke konsumen. Ia
mengatasi tiga macam jenjang penting yaitu waktu, ruang dan kepemilikan (Idris,
2010)
Menurut Sukartawi (1993), dalam pemasaran komoditi
pertanian seringkali panjang, sehingga banyak juga pelaku lembaga pemasaran
yang terlibat dalam saluran pemasaran tersebut. Akibatnya, terlalu besarnya
keuntungan pemasaran (marketing margin) yang diambil oleh para pelaku pemasaran
tersebut.
Setiap
barang mempunyai saluran pemasaran yang berbeda. Makin banyak lembaga pemasaran
yang terlibat makin panjang saluran pemasaran yang mengakibatkan makin tinggi
margin pemasaran (Idris, 2010)
Analisa
terhadap saluran pemasaran produk pertanian pada umumnya sudah banyak
dilakukan. Hasil penelitian Ginting menyebutkan adanya dua bentuk saluran
pemasaran yaitu saluran pemasaran jangka pendek dan jangka panjang,.harga yang
diterima petani pada kedua saluran tersebut berbeda.
Efisiensi
pemasaran sering digunakan untuk menilai prestasi kerja proses pemasaran. Suatu
kegiatan pemasaran dilakukan bersifat efisien jika biaya pemasaran dapat
ditekan sehingga keuntungan pemasaran lebih tinggi. Persentase perbedaan harga
yang dibayarkan produsen dan konsumen tidak terlalu tinggi, adanya pembagian keuintungan
yang adil dari setiap lembaga pemasaran, tersedianya fasilitas fisik pemasaran
dan adanya kompetisi pasar yang sehat (Sukartawi, 1990).
Nilai margin pemasaran berbeda-beda antara komoditas
yang satu dan yang lain, hal ini dikarenakan untuk tiap produksi mempunyai jasa
pemasaran yang berbeda-beda seperti pengolahan, pengangkutan, distribusi
komoditas tersebut dari produsen sampai ke konsumen akhir. Berubahnya jumlah
barang di pasaran juga dapat menyebabkan berubahnya margin pemasaran (Idris, 2010)
Secara
matematik, margin pemasaran dirumuskan; (Sukartawi, 1990), sbb
M
= HP - HB …………………………….. (1)
Dimana; M = Margin
pemasaran
HP = Harga penjual
HB = Harga pembelian
Tingkat
keuntungan yang dikenakan lembaga pemasaran akan memperbesar margin pemasaran.
Semakin tinggi margin pemasaran akan semakin rendah bagian yang diterima petani
produsen dari harga.
Untuk
mengetahui besarnya bagian (share)
keuntungan terhadap keseluruhan margin pemasaran dapat dirumuskan sebagai
berikut;
Ki
Ski =
------------------- X 100 % …………………………… (2)
M
Dimana; Ski
= Bagian (share) keuntungan
lembaga pemasaran
Ki
= Keuntungan lembaga pemasaran
M =
Margin pemasaran (Soekartawi,
1990 dalam Idris, 2010)
B. Prospek Pengembangann
Kakao
Kakao merupakan salah satu komoditi ekspor non migas
yang memiliki prospek cukup cerah sebab permintaan di dalam negeri juga semakin
kuat dengan semakin berkembangnya sektor agroindustri. Namun sangat disayangkan
bahwa kualitas biji kakao kita masaih rendah, terutama dari kakao rakyat.
Padahal, luas kakao rakyat jauh lebih luas, yaitu sekitar 72,07 % dari total
luas kakao kita yang mencapai 328,938 hektar. Sedangkan luas perkebunan kakao
Negara hanya sekitar 16,7 % dan perkebunan swasta sekitar 11,23 % (Susanto,
1995)
Pasokan
biji kakao dari Indonesia yang berkualitas ekspor itu jumlahnya masih sangat
kecil dibanding potensi dan peluang di negeri lain. Persyaratan kualitas produk
masih merupakan kendala utama masuknya komoditas pertanian Indonesia, khususnya
untuk produk biji kakao. Harga yang cukup bersaing kualitas produk yang
dipengaruhi dari pola dan system tanam, serta penangnanan pasca panen sampai packing masih merupakan kendala klasik
dan utama bagi masuknya produk pertanian Indonesia ke Singapura, Amerika
Serikat, Belanda, Jerman dan lain-lain Peluang pasar bagi produk pertanian
Indonesia, khususnya kakao, ke Singapura, USA, Belanda, Jerman dan lainnya,
sepertinya sudah di pelupuk mata. Apakah petani dan pengusaha kita akan
mengambilnya, agar kesejahteraan petani meningkat dan devisa Negara bertambah,
atau peluang tersebut dibiarkan saja dan direbut Negara tetangga. Inilah
tantangan yang perlu dijawab oleh para pengambil kebijakan di Negara ini.
III.
SALURAN
PEMASARAN KAKAO SAAT INI
Dalam
penelitian yang dilakukan Idris (2010) di Kelurahan Lebang Kecamatan Wara Barat
Kota Palopo, diketahui bahwa ada tiga model saluran pemasaran yang ditempuh
petani saat ini. Kemungkinan besar ketiga model tersebut juga terjadi di
daerah-daerah penghasil kakao lainnya, termasuk di Kabupaten Gowa ini.
Ketiga
model saluran pemasaran tersebut adalah sebagai berikut;
1) Petani menjual
kepada pedagang pengumpul kecil, pedagang pengumpul kecil menjual kepada
pedagang pengumpul menengah, selanjutnya pedagang pengumpul menengah menjual
kepada pedagang pengumpul besar (eksportir),
2) Petani menjual
kepada pedagang pengecer, selanjutnya pedagang pengecer menjual kepada pedagang
pengumpul besar (eksportir), dan
3) Petani
menjual langsung kepada pedagang pengumpul besar (eksportir).
Model ketiga ini sangat jarang dilakukan petani karena
terbatasnya pemilikan lahan serta sarana transportasi yang dimiliki oleh
petani.
Dari
ketiga model pemasaran yang terjadi sebagaimana digambarkan di atas setelah
dilakukan analisis ekonomi dapat diketahui margin pemasaran, keuntungan dan
tingkat efisiensi masing-masing sebagai berikut;
A. Margin Pemasaran, masing-masing lembaga
Secara sederhana, margin
pemasaran didefenisikan sebagai selisih antara harga jual dengan harga beli,
atau dengan kata lain keuntungan kotor dari suatu proses perdagangan. Dikatakan
demikian karena margin pasar adalah sisa dari penerimaan setelah dikurangi
dengan modal awal sebelum dikurangi dengan biaya-biaya pemasaran. Menghitung
margin pemasaran adalah sebagai berikut;
Dengan menggunakan rumus;
M = HP
- HB
Dimana: M =
Margin Pemasaran
HP = Harga Penjualan
HB = Harga Pembelian
Maka margin pemasaran masing-masing lembaga, adalah;
1. Pedagang
Pengecer = Rp. 3.300
- Rp. 3.000 =
Rp. 300/Kg
2. Pedagang
Pengumpul Kecil = Rp. 3.100
- Rp. 3.000
= Rp. 100/Kg
3. Pedagang
Pengumpul Sedang = Rp
3.200 - Rp
3.100 = Rp.
100/Kg
4. Pedagang
Pengumpul Besar = Rp
3.600 - Rp
3.200 = Rp.
400/Kg
B. Keuntungan, masing-masing lembaga
Keuntungan ialah hasil usaha
perdagangan yang diperoleh dari selisih antara jumlah penerimaan dengan jumlah
pengeluaran. Artinya, jika seluruh hasil penjualan sudah dikurangi dengan
seluruh pengeluaran, maka sisanya itulah keuntungan.
Jika dihubungkan dengan margin
pemasaran, maka keuntungan tidak lain adalah margin pemasaran dikurangi dengan
biaya-biaya pemasaran. Jadi keuntungan ini merupakan penerimaan bersih atau
laba bersih yang akan dinikmati oleh pedagang.
Olehnya itu, keuntungan dapat
dicari dengan menggunakan rumus;
Π = M
- BP
Dimana:
Π = Keuntungan Pemasaran
M
= Margin Pemasaran
BP = Biaya Pemasarans
Maka keuntungan masing-masing lembaga, adalah:
1. Pedagang
Pengecer = Rp.
300 - Rp.
50 = Rp.
250/Kg
2. Pedagang
Pengumpul Kecil = Rp.
100 - Rp.
20 = Rp.
80/Kg
3. Pedagang
Pengumpul Sedang = Rp.
100 - Rp.
50 = Rp.
50/Kg
4. Pedagang
Pengumpul Besar = Rp.
400 - Rp.
265,22 = Rp.
134,78/Kg
Dari
data di atas dapat disimpulkan bahwa dari lembaga-lembaga pemasaran kakao yang
terlibat dalam saluran pemasaran, pedagang pengumpul besar merupakan penerima
margin dan keuntungan terbesar, sedangkan pedagang pengumpul sedang adalah penerima margin dan keuntungan
terkecil.
Sedangkan
kalau keseluruhan margin diakumulasikan, mencapai Rp. 600 - Rp. 700 per Kg. dan
keuntungan mencapai Rp. 265 – Rp. 385 per Kg. Suatu angka yang cukup signifikan
dalam meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani kakao kita. Olehnya itu,
perlu diupayakan model saluran pemasaran alternatif yang memungkinkan hal
tersebut.
IV. PERAN GAPOKTAN DALAM SALURAN PEMASARAN KAKAO
Berdasarkan
pengalaman yang telah dialami oleh petani serta melihat keadaan petani,
kelompok tani, potensi sumberdaya pertanian dan sarana transportasi yang ada,
maka ditawarkan kepada petani agar tidak menjual produknya kepada pedagang
pengumpul, baik pengumpul kecil (tengkulak) maupun pengumpul menengah dan
besar, tetapi membentuk lembaga sendiri yang beranggotakan para pengurus
kelompok tani sendiri, untuk kemudian membeli produk kakao para anggota. Kalau
sesuai keadaan sekarang mungkin semacam GAPOKTAN (gabungan kelompok tani), atau
semacam KUD (koperasi unit desa) atau koperasi tani (KOPTAN). Dengan demikian,
margin pemasaran yang ada akan diterima oleh lembaga petani tersebut, yang pada
gilirannya akan dinikmati oleh seluruh anggota petani sendiri. Berdasarkan
penelitian Idris (2010) di Kelurahan Lebang Kecamatan Wara Barat Kota Palopo,
diketahui bahwa keuntungan yang diterima oleh petani adalah Rp 3.000 – Rp 3.200
per Kg. sedangkan keuntungan yang
diterima oleh setiap lembaga pemasaran yang terlibat adalah sebagai berikut;
1)
Pedagang pengecer Rp. 250/Kg
2)
Pedagang pengumpul kecil Rp. 80/Kg
3)
Pedagang pengumpul menengah Rp. 50/Kg
4)
Pedagang pengumpul besar Rp 134,78/Kg
Melihat
fakta di atas, dapat dibayangkan betapa signifikannya hasil yang dapat
dinikmati oleh para petani sendiri. Jika demikian halnya, mengapa tidak segera
dimulai pembentukan lembaga pemasaran kakao di desa, yang akan membeli kakao
para anggota kemudian menjualnya kepada eksportir.
V. KESIMPULAN
Berdasarkan
pemaparan di muka maka dapatlah ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Kakao adalah
salah satu komoditas pertanian dari subsektor perkebunan yang kini sedang
menjadi andalan Sulawesi Selatan sebagai komoditas ekspor.
2. Harga biji
kakao yang difermentasi lebih tinggi dibandingkan biji kakao yang tidak
difermentasi.
3. Produk biji
kakao petani untuk sampai kepada pengusaha/pabrik pengolahan kakao melalui
beberapa saluran. Diharapkan di masa yang akan datang gapoktan dapat berperan
sebagai mata rantai pemasaran biji kakao petani yang akan menghubungkan petani
dengan pengusaha secara langsung.
VI. SARAN-SARAN
Berdasarkan
kesimpulan sebagimana diungkapkan pada bab sebelumnya, maka dapat dikemukakan
saran-saran sebagai berikut :
1. Kiranya
pemerintah dapat memfasilitasi petani untuk mendapatkan pelatihan fermentasi
biji kakao.
2. Kiranya
pemerintah mensosialisasikan gerakan fermentasi biji kakao
3. Kiranya
pemerintah dapat memediasi gapoktan untuk bermitra dengan pengusaha (pabrik)
pengolahan biji kakao.
4. Kiranya
pemerintah memberikan insentif harga yang lebih menarik kepada petani terhadap
harga biji kakao yang difermentasi.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar.
I.M, 1994. Dasar-dasar Marketing.
Alumni Bandung. Bandung
Cahyono.
BT, 1999. Riset Pemasaran dan Kumpulan
Tulisan Ilmiah. IPWI. Jakarta
Gitosudarmo.
I, 1998. Prinsip Manajemen Pemasaran.
Liberari. Yogyakarta.
Ibrahim
Jabal tarik, dkk, 2003. Komunikasi dan
Penyuluhan Pertanian. Banyumedia
Publishing/UMN Press. Malang
Idris,
2010. Analisis Saluran Pemasaran Kakao
Dalam Upaya Meningkatkan Pendapatan Petani.
STPP. Gowa
Kotler.
P, 2005. Manajemen PemasarN. Analisia
Perencanaan, Implementasi dan
Pengendalian, Edisi Ke Enam. Erlangga. Jakarta.
Kustiah,
Quilkey dan Makaliwe, 1986. Ekonomi
Pemasaran Dalam Pertanian, Jilid I. Gramedia, Jakarta.
Roesmanto.
J, 1991. Kajian Sosial Ekonomiu Kakao.
UGM. Yogyakarta.
Sigit.
S, 1983. Marketing Praktis. Gajah
Mada Universitas Press. Yogyakarta
Soekartawi,
1991. Agribisnis : Teori dan Aplikasinya.
Rajawali, Jakarta.
Soekartawi,
1993. Manajemen Pemasaran Hasil-hasil
Pertanian. Rajawali Press. Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar