Sabtu, 20 Januari 2018

PERAN GAPOKTAN DI DALAM SALURAN PEMASARAN KAKAO

PERAN GAPOKTAN DI DALAM SALURAN PEMASARAN KAKAO
OLEH : MUHAMMAD DARWIS, SP
PENYULUH PERTANIAN KAB. GOWA
I.              PENDAHULUAN
Kakao adalah salah satu komoditas yang diandalkan oleh pemerintah dari sektor perkebunan. Indonesia merupakan negara penghasil kakao terbesar ke tiga dunia, dengan produksi mencapai 700 ribu ton per tahun, dimana hampir 90% dihasilkan dari perkebunan rakyat.   Salah satu propinsi penghasil kakao terbesar di Indonesia adalah Sulawesi Selatan. Daerah–daerah penghasil kakao utama di Sulawesi selatan adalah Pinrang, Luwu dan Bulukumba
Permasalahan utama yang dihadapi perkakaoan kita adalah rendahnya produktifitas tanaman yang hanya berada di bawah 900 kg/ha/thn dari rata-rata potensi yang mencapai 2.000 kg/ha/thn. Penyebabnya antara lain adalah benih yang digunakan bukan bahan tanaman unggul, tanaman telah tua, belum diterapkannya teknologi secara baik serta serangan hama penyakit. Hama-penyakit penting di negara kita antara lain penggerek buah kakao (PBK), busuk buah Phitphtora palmivora dan vascular streak dieback. PBK memberikan kontribusi sekitar 5 – 80 % terhadap kehilangan hasil.
Produk biji kakao Indonesia, khususnya yang dihasilkan oleh perkebunan rakyat masih bermutu rendah, yang ditandai oleh masih tingginya kandungan biji non fermentasi  dan kotoran, biji berjamur, biji hampa dan benda-benda lainnya. Akibat keadaan tersebut kita mengalami potongan harga, yang pada tahun 2007 mencapai US$ 250/ton  Di sisi lain, insentif pemasaran sekarang ini cukup menjanjikan. Pedagang kakao dan pengusaha pabrik pengolahan biji kakao sekarang sudah memberikan klasifikasi harga yang cukup menggiurkan bagi petani kakao. Biji kakao yang difermentasi dihargai dengan sangat baik, sedangkan biji kakao yang non fermentasi juga dibeli tetapi dengan harga lebih rendah.
Untuk memberikan motivasi kepada petani agar mau melakukan fermentasi biji kakao mereka maka pemerintah perlu melakukan fasilitasi dalam rangka peningkatan kualitas sumberdaya manusia mereka. Fasilitasi yang diperlukan untuk mengatasi permasalahan mutu dan produktifitas tanaman ini adalah meliputi pelatihan, penyuluhan, temu teknis dan pendampingan, pembinaan kelompok tani dan kemitraan, harmonisasi standar mutu, penyediaan bahan tanaman unggul, kerjasama regional dan internasional, penyediaan teknologi dan sarana produksi serta kemudahan sarana-prasarana. Pemberian pelatihan dan penyuluhan merupakan cara konvensional dalam meningkatkan kesadaran dan kemampuan petani serta seluruh pelaku bisnis kakao dalam meningkatkan mutu biji kakao yang dihasilkan. Satu hal yang menggembirakan adalah karena pasar sekarang sudah mengadakan klasifikasi harga, antara produk yang difermentasi dengan produk yang tidak difermentasi. Sehingga dengan demikian maka petrani sudah dapat melihat dan merasakan sendiri nilai tambah yang akan dinikmati jika mereka melakikan fermentasi.  Namun, selain itu pemerintah agaknya masih perlu juga memediasi antara kelompok-kelompoktani atau gapoktan dengan pihsk pengusaha (pabrik) pengolahan biji kakao. Ini pnerting mengingat SDM petani yang belum dapat mengakses pasar antar pulau. Khususnya kita di Sulawesi Selatan yang jauh dari pabrik. Umumnya pabrik pengolahan kakao berada di Pulau Jawa, sehingga diperlukan medisa untuk dapat menembusnya. Disinilah peran pemerintah yang sangat vital agar petani dapat menjangkau pasar tersebut.

II.            PASAR DAN PEMASARAN KAKAO
A.  Pasar dan Pemasaran
Dalam konteks pemasaran, pasar adalah orang atau sekelompok orang atau organisasi yang mempunyai kebutuhan serta keinginan yang dapat dipenuhi lewat transaksi jual-beli (Gitosudarmo, 1998 dalam Idris, 2010)
Idris (2010) mengemukakan, bahwa menurut pandangan ilmu ekonomi, pasar didefenisikan sebagai permintaan,  yaitu jumlah produksi yang dapat diserap  oleh konsumen dari produk yang ditawarkan pada tingkat harga tertentu. Dari sudut pandang bisnis, pasar tidak hanya merupakan interaksi antara penawaran dan permintaan saja tetapi merupakan orang-orang atau organisasi yang membutuhkan produk tersebut beserta bagaimana sifat-sifat mereka.
Jumlah bisnisman dalam hal ini lebih menitik beratkan pada potensi pasar ditentukan oleh struktur penduduk, kemampuan membeli dan pola konsumsi (Gitosudarmo, 1998)
Pemasaran adalah suatu proses sosial dan manajerial yang di dalamnya individu dan kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan dengan menciptakan, menawarkan dan mempertukarkan produk yang bernilai dengan pihak lain (Kotler, 1996 dalam Idris 2010)
Cahyono (1999) dalam Idris (2010) mengatakan riset pemasaran sangat penting dilakukan terhadap faktor-faktor penunjang dari pada saluran nilai perusahaan. Aktifitas penunjang yang selalu melekat dalam pemasaran perusahaan adalah aktifitas pembelian, teknologi, SDM dan sarana margin dalam melakukan riset terhadap aktifitas penunjang ini maka yang terpenting adalah mengenai pengukuran variable-variabel yang terlibat di dalamnya.
Sigit (1983) mengemukakan, pemasaran adalah menyerahkan barang-barang dan jasa ke tangan konsumen, untuk ini diperlukan kegiatan-kegiatan tertentu. Berbagai jenis kegiatan dan proses yang diperlukan disebut fungsi pemasaran.  Fungsi pemasaran digolongkan menjadi 3 (tiga), yaitu;
1.     Fungsi pertukaran yang terdiri dari pembeli dan penjual
2.     Fungsi penyediaan fisik, yang terdiri dari transportasi, penggudangan/penyimpanan, pengolahan, sortasi, standardisasi dan grading
3.     Fungsi fasilitas, yang terdiri dari pembelanjaan, menanggung risiko dan penerangan atau informasi pusat.
Saluran pemasaran mempunyai tugas menyalurkan barang dari produsen ke konsumen. Ia mengatasi tiga macam jenjang penting yaitu waktu, ruang dan kepemilikan (Idris, 2010)
Menurut  Sukartawi (1993), dalam pemasaran komoditi pertanian seringkali panjang, sehingga banyak juga pelaku lembaga pemasaran yang terlibat dalam saluran pemasaran tersebut. Akibatnya, terlalu besarnya keuntungan pemasaran (marketing margin) yang diambil oleh para pelaku pemasaran tersebut.
Setiap barang mempunyai saluran pemasaran yang berbeda. Makin banyak lembaga pemasaran yang terlibat makin panjang saluran pemasaran yang mengakibatkan makin tinggi margin pemasaran (Idris, 2010)
Analisa terhadap saluran pemasaran produk pertanian pada umumnya sudah banyak dilakukan. Hasil penelitian Ginting menyebutkan adanya dua bentuk saluran pemasaran yaitu saluran pemasaran jangka pendek dan jangka panjang,.harga yang diterima petani pada kedua saluran tersebut berbeda.
Efisiensi pemasaran sering digunakan untuk menilai prestasi kerja proses pemasaran. Suatu kegiatan pemasaran dilakukan bersifat efisien jika biaya pemasaran dapat ditekan sehingga keuntungan pemasaran lebih tinggi. Persentase perbedaan harga yang dibayarkan produsen dan konsumen tidak terlalu tinggi, adanya pembagian keuintungan yang adil dari setiap lembaga pemasaran, tersedianya fasilitas fisik pemasaran dan adanya kompetisi pasar yang sehat (Sukartawi, 1990).
Nilai margin pemasaran berbeda-beda antara komoditas yang satu dan yang lain, hal ini dikarenakan untuk tiap produksi mempunyai jasa pemasaran yang berbeda-beda seperti pengolahan, pengangkutan, distribusi komoditas tersebut dari produsen sampai ke konsumen akhir. Berubahnya jumlah barang di pasaran juga dapat menyebabkan berubahnya margin pemasaran (Idris, 2010)
Secara matematik, margin pemasaran dirumuskan; (Sukartawi, 1990), sbb
   M        =       HP     -      HB                  …………………………….. (1)
Dimana;                   M        =    Margin pemasaran
                   HP       =    Harga penjual        
                   HB       =    Harga pembelian      
Tingkat keuntungan yang dikenakan lembaga pemasaran akan memperbesar margin pemasaran. Semakin tinggi margin pemasaran akan semakin rendah bagian yang diterima petani produsen dari harga.
Untuk mengetahui besarnya bagian (share) keuntungan terhadap keseluruhan margin pemasaran dapat dirumuskan sebagai berikut;
             Ki
   Ski       =   -------------------      X      100 %          …………………………… (2)
            M     
Dimana;    Ski      =   Bagian (share) keuntungan lembaga pemasaran
                  Ki       =   Keuntungan lembaga pemasaran
                    M     =    Margin pemasaran    (Soekartawi, 1990 dalam Idris, 2010)   
  
B.  Prospek Pengembangann Kakao
Kakao merupakan salah satu komoditi ekspor non migas yang memiliki prospek cukup cerah sebab permintaan di dalam negeri juga semakin kuat dengan semakin berkembangnya sektor agroindustri. Namun sangat disayangkan bahwa kualitas biji kakao kita masaih rendah, terutama dari kakao rakyat. Padahal, luas kakao rakyat jauh lebih luas, yaitu sekitar 72,07 % dari total luas kakao kita yang mencapai 328,938 hektar. Sedangkan luas perkebunan kakao Negara hanya sekitar 16,7 % dan perkebunan swasta sekitar 11,23 % (Susanto, 1995)
Pasokan biji kakao dari Indonesia yang berkualitas ekspor itu jumlahnya masih sangat kecil dibanding potensi dan peluang di negeri lain. Persyaratan kualitas produk masih merupakan kendala utama masuknya komoditas pertanian Indonesia, khususnya untuk produk biji kakao. Harga yang cukup bersaing kualitas produk yang dipengaruhi dari pola dan system tanam, serta penangnanan pasca panen sampai packing masih merupakan kendala klasik dan utama bagi masuknya produk pertanian Indonesia ke Singapura, Amerika Serikat, Belanda, Jerman dan lain-lain Peluang pasar bagi produk pertanian Indonesia, khususnya kakao, ke Singapura, USA, Belanda, Jerman dan lainnya, sepertinya sudah di pelupuk mata. Apakah petani dan pengusaha kita akan mengambilnya, agar kesejahteraan petani meningkat dan devisa Negara bertambah, atau peluang tersebut dibiarkan saja dan direbut Negara tetangga. Inilah tantangan yang perlu dijawab oleh para pengambil kebijakan di Negara ini.
III.       SALURAN PEMASARAN KAKAO SAAT INI
Dalam penelitian yang dilakukan Idris (2010) di Kelurahan Lebang Kecamatan Wara Barat Kota Palopo, diketahui bahwa ada tiga model saluran pemasaran yang ditempuh petani saat ini. Kemungkinan besar ketiga model tersebut juga terjadi di daerah-daerah penghasil kakao lainnya, termasuk di Kabupaten Gowa ini.
Ketiga model saluran pemasaran tersebut adalah sebagai berikut;
1)     Petani menjual kepada pedagang pengumpul kecil, pedagang pengumpul kecil menjual kepada pedagang pengumpul menengah, selanjutnya pedagang pengumpul menengah menjual kepada pedagang pengumpul besar (eksportir),
2)     Petani menjual kepada pedagang pengecer, selanjutnya pedagang pengecer menjual kepada pedagang pengumpul besar (eksportir), dan
3)    Petani menjual langsung kepada pedagang pengumpul besar (eksportir).
Model ketiga ini sangat jarang dilakukan petani karena terbatasnya pemilikan lahan serta sarana transportasi yang dimiliki oleh petani.
Dari ketiga model pemasaran yang terjadi sebagaimana digambarkan di atas setelah dilakukan analisis ekonomi dapat diketahui margin pemasaran, keuntungan dan tingkat efisiensi masing-masing sebagai berikut;
A.   Margin Pemasaran, masing-masing lembaga
Secara sederhana, margin pemasaran didefenisikan sebagai selisih antara harga jual dengan harga beli, atau dengan kata lain keuntungan kotor dari suatu proses perdagangan. Dikatakan demikian karena margin pasar adalah sisa dari penerimaan setelah dikurangi dengan modal awal sebelum dikurangi dengan biaya-biaya pemasaran. Menghitung margin pemasaran adalah sebagai berikut;
Dengan menggunakan rumus;
                    M     =    HP    -   HB
Dimana:       M        =       Margin Pemasaran
                    HP       =       Harga Penjualan
                    HB       =       Harga Pembelian   
Maka margin pemasaran masing-masing lembaga, adalah;
1.     Pedagang Pengecer                =   Rp. 3.300   -   Rp. 3.000      =    Rp.   300/Kg
2.     Pedagang Pengumpul Kecil   =   Rp. 3.100   -   Rp.  3.000     =    Rp.   100/Kg
3.     Pedagang Pengumpul Sedang  =   Rp  3.200   -   Rp   3.100   =    Rp.   100/Kg
4.     Pedagang Pengumpul Besar   =    Rp  3.600   -   Rp   3.200    =    Rp.    400/Kg
B.   Keuntungan, masing-masing lembaga
Keuntungan ialah hasil usaha perdagangan yang diperoleh dari selisih antara jumlah penerimaan dengan jumlah pengeluaran. Artinya, jika seluruh hasil penjualan sudah dikurangi dengan seluruh pengeluaran, maka sisanya itulah keuntungan.
Jika dihubungkan dengan margin pemasaran, maka keuntungan tidak lain adalah margin pemasaran dikurangi dengan biaya-biaya pemasaran. Jadi keuntungan ini merupakan penerimaan bersih atau laba bersih yang akan dinikmati oleh pedagang.
Olehnya itu, keuntungan dapat dicari dengan menggunakan rumus;
                     Π        =      M       -      BP
Dimana:       Π      =     Keuntungan Pemasaran
                     M     =     Margin Pemasaran
                    BP     =     Biaya Pemasarans
Maka keuntungan masing-masing lembaga, adalah:
1.  Pedagang Pengecer                  =   Rp.   300   -   Rp.   50     =      Rp.   250/Kg
2.  Pedagang Pengumpul Kecil     =   Rp.   100   -   Rp.   20     =      Rp.     80/Kg
3.  Pedagang Pengumpul Sedang  =   Rp.   100   -   Rp.   50     =      Rp.    50/Kg
4.  Pedagang Pengumpul Besar    =   Rp.   400   -   Rp.  265,22  =   Rp.  134,78/Kg
Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa dari lembaga-lembaga pemasaran kakao yang terlibat dalam saluran pemasaran, pedagang pengumpul besar merupakan penerima margin dan keuntungan terbesar, sedangkan pedagang pengumpul sedang  adalah penerima margin dan keuntungan terkecil.
Sedangkan kalau keseluruhan margin diakumulasikan, mencapai Rp. 600 - Rp. 700 per Kg. dan keuntungan mencapai Rp. 265 – Rp. 385 per Kg. Suatu angka yang cukup signifikan dalam meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani kakao kita. Olehnya itu, perlu diupayakan model saluran pemasaran alternatif yang memungkinkan hal tersebut.
IV.    PERAN GAPOKTAN DALAM SALURAN PEMASARAN KAKAO
Berdasarkan pengalaman yang telah dialami oleh petani serta melihat keadaan petani, kelompok tani, potensi sumberdaya pertanian dan sarana transportasi yang ada, maka ditawarkan kepada petani agar tidak menjual produknya kepada pedagang pengumpul, baik pengumpul kecil (tengkulak) maupun pengumpul menengah dan besar, tetapi membentuk lembaga sendiri yang beranggotakan para pengurus kelompok tani sendiri, untuk kemudian membeli produk kakao para anggota. Kalau sesuai keadaan sekarang mungkin semacam GAPOKTAN (gabungan kelompok tani), atau semacam KUD (koperasi unit desa) atau koperasi tani (KOPTAN). Dengan demikian, margin pemasaran yang ada akan diterima oleh lembaga petani tersebut, yang pada gilirannya akan dinikmati oleh seluruh anggota petani sendiri. Berdasarkan penelitian Idris (2010) di Kelurahan Lebang Kecamatan Wara Barat Kota Palopo, diketahui bahwa keuntungan yang diterima oleh petani adalah Rp 3.000 – Rp 3.200 per Kg.  sedangkan keuntungan yang diterima oleh setiap lembaga pemasaran yang terlibat adalah sebagai berikut;
1)            Pedagang pengecer                                  Rp. 250/Kg
2)            Pedagang pengumpul kecil                      Rp.   80/Kg
3)            Pedagang pengumpul menengah             Rp.    50/Kg
4)            Pedagang pengumpul besar                     Rp    134,78/Kg
Melihat fakta di atas, dapat dibayangkan betapa signifikannya hasil yang dapat dinikmati oleh para petani sendiri. Jika demikian halnya, mengapa tidak segera dimulai pembentukan lembaga pemasaran kakao di desa, yang akan membeli kakao para anggota kemudian menjualnya kepada eksportir.     

V.     KESIMPULAN
Berdasarkan pemaparan di muka maka dapatlah ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1.    Kakao adalah salah satu komoditas pertanian dari subsektor perkebunan yang kini sedang menjadi andalan Sulawesi Selatan sebagai komoditas ekspor.
2.    Harga biji kakao yang difermentasi lebih tinggi dibandingkan biji kakao yang tidak difermentasi.
3.    Produk biji kakao petani untuk sampai kepada pengusaha/pabrik pengolahan kakao melalui beberapa saluran. Diharapkan di masa yang akan datang gapoktan dapat berperan sebagai mata rantai pemasaran biji kakao petani yang akan menghubungkan petani dengan pengusaha secara langsung.



VI.    SARAN-SARAN
Berdasarkan kesimpulan sebagimana diungkapkan pada bab sebelumnya, maka dapat dikemukakan saran-saran sebagai berikut :
1.    Kiranya pemerintah dapat memfasilitasi petani untuk mendapatkan pelatihan fermentasi biji kakao.
2.    Kiranya pemerintah mensosialisasikan gerakan fermentasi biji kakao
3.    Kiranya pemerintah dapat memediasi gapoktan untuk bermitra dengan pengusaha (pabrik) pengolahan biji kakao.
4.    Kiranya pemerintah memberikan insentif harga yang lebih menarik kepada petani terhadap harga biji kakao yang difermentasi.

DAFTAR PUSTAKA
Anwar. I.M, 1994. Dasar-dasar Marketing. Alumni Bandung. Bandung

Cahyono. BT, 1999. Riset Pemasaran dan Kumpulan Tulisan Ilmiah. IPWI. Jakarta

Gitosudarmo. I, 1998. Prinsip Manajemen Pemasaran. Liberari. Yogyakarta.

Ibrahim Jabal tarik, dkk, 2003. Komunikasi dan Penyuluhan Pertanian. Banyumedia  Publishing/UMN Press. Malang

Idris, 2010. Analisis Saluran Pemasaran Kakao Dalam Upaya Meningkatkan Pendapatan Petani. STPP. Gowa

Kotler. P, 2005. Manajemen PemasarN. Analisia Perencanaan, Implementasi dan
             Pengendalian, Edisi Ke Enam. Erlangga. Jakarta.

Kustiah, Quilkey dan Makaliwe, 1986. Ekonomi Pemasaran Dalam Pertanian, Jilid I. Gramedia, Jakarta.

Roesmanto. J, 1991. Kajian Sosial Ekonomiu Kakao. UGM. Yogyakarta.

Sigit. S, 1983. Marketing Praktis. Gajah Mada Universitas Press. Yogyakarta

Soekartawi, 1991. Agribisnis : Teori dan Aplikasinya. Rajawali, Jakarta.

Soekartawi, 1993. Manajemen Pemasaran Hasil-hasil Pertanian. Rajawali Press. Jakarta








Tidak ada komentar:

Posting Komentar